“kenapa harus aku sih?”, degusku dalam hati
Selama ini bisa
dikatakan aku tak pernah berolahraga, menyukainya pun tidak. Tapi, kenapa malah
aku yang kepilih untuk lomba di cabang olahraga?.
“lompat jauh?”
Aku mengernyitkan
keningku. Memikirkannya. Apa itu ? melompat saja harus di pertandingkan?
Aku memang tak pernah
acuh sama sekali di bidang olahraga. Bahkan setiap pelajaran penjas aku selalu
berteduh di bawah jamur-jamur buatan yang ada di depan koridor, atau aku akan
membaca buku-buku di bidang seni jika pelajaran penjas berlangsung di kelas.
Hhmm,,, aku menghela
nafas.
“poster tubuhmu cocok
untuk menjadi seorang atlit”.
Ahh, kata-kata itu
selalu saja mengusikku. Agung, dia memang biasa menyemangatiku. Tapi, kali ini
menurutku malah nggak tepat. Tubuh yang tinggi ini faktor keturunan, bukan
karena aku menyukai olahraga.
Sekali lagi aku
bergumam, olahraga saja tidak suka, gimana bisa jadi atlit?.
***
Aku
sudah berlatih semampuku. Aku melakukannya demi nama baik sekolahku. Bukan
karena paksaan atau apapun itu.
Saat
ini aku telah berdiri pada sebuah lintasan, dan di depanku ada bak pasir yang
menanti hentakan kakiku. Ntah sejauh apa lompatanku nanti.
Pelan-pelan
kulangkahkan kakiku kebelakang—berjalan mundur, menjauh dari bak pasir itu.
Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Bahkan lebih cepat saat kali
pertamanya aku tertangkap mata oleh Agung—mengawasi Agung dalam diam.
Menit
berikutnya aku melihat sekelilingku—mencari Agung. Ya, penyemangatku. Mana dia?
Kenapa dia tak ada di arena pertandingan?. Aku terdiam, semangatku mulai
hilang. Sepertinya aku ingin menyerah. Aku menghela nafas. Berusaha menenangkan
diriku. Walau bagaimanapun kembali pada tujuan utamaku. Bertarung demi nama
baik sekolah. Bukan karena Agung.
“sejauh
apapun lompatanmu nanti, sejauh itulah kebahagiaan yang kau beri untuk kami
semua”.
Aku
selalu ingat kata-kata Agung. Ia memang tak pernah bosan menyemangatiku meski
terkadang aku memang suka mencelanya.
Kini,
aku telah siap untuk melompat. Aku mulai berlari sekencang-kencangnya meninggalkan
lintasan itu. Lalu, melompat. Menghentakkan kaki di bak pasir. Juri mengukur,
lalu mencatat jauh lompatanku.
Sepertinya
aku terlalu cepat mendarat, hingga lompatanku rasanya tak maksimal. Bersyukur
saat itu peserta hanya delapan orang. Jadi, ada enam kali kesempatan untukku
melompat.
Dan
ini kesempatan terakhir untukku. Ini juga akan menentukan apakah aku pantas
untuk menjadi pemenang atau tidak. Setelah beberapa kali melompat rasanya
percaya diriku tumbuh lebih besar. Sebelum berlari meninggalkan lintasan itu,
aku melihat ke depan. Tepat di ujung bak pasir itu ada sekelebat bayangan. Ya,
bayangan Agung. Aku hafal betul bentuk tubuhnya.
Menit
berikutnya dengan semangat aku berlari meninggalkan lintasan sejauh empat puluh
meter itu, lalu bertumpu pada papan tolakan. Mengangkat tubuh ini. Menggunakan
teknik melayang di udara. Lalu aku menundukkan
kepala, mengayun lengan, dan membawa pinggang ke depan dan mendarat dengan
tenang.
***
“Zika Adinata”.
Seseorang menyebut namaku, lalu di ikuti tepukan tangan
para penonton dan peserta lainnya. Aku berjalan menuju panggung. Rasanya
sedikit ragu—aku pemenangnya. Apakah benar itu namaku ataukah bukan. Seperti
mimpi, tapi aku puas dengan usahaku. Sekarang aku mengerti, apa yang dilakukan
atas usaha keras, maka akan mencapai hasil maksimal pula.
Di ujung sana terlihat sosok agung menaikkan dua
jempolnya lalu tersenyum, dengan senang hati kubalas senyumannya.
“terimakasih penyemangatku” ucapku dalam hati.