Senin, 13 Oktober 2014

LOMPATANKU


“kenapa harus aku sih?”, degusku dalam hati
Selama ini bisa dikatakan aku tak pernah berolahraga, menyukainya pun tidak. Tapi, kenapa malah aku yang kepilih untuk lomba di cabang olahraga?.
“lompat jauh?”
Aku mengernyitkan keningku. Memikirkannya. Apa itu ? melompat saja harus di pertandingkan?
Aku memang tak pernah acuh sama sekali di bidang olahraga. Bahkan setiap pelajaran penjas aku selalu berteduh di bawah jamur-jamur buatan yang ada di depan koridor, atau aku akan membaca buku-buku di bidang seni jika pelajaran penjas berlangsung di kelas.
Hhmm,,, aku menghela nafas.
“poster tubuhmu cocok untuk menjadi seorang atlit”.
Ahh, kata-kata itu selalu saja mengusikku. Agung, dia memang biasa menyemangatiku. Tapi, kali ini menurutku malah nggak tepat. Tubuh yang tinggi ini faktor keturunan, bukan karena aku menyukai olahraga.
Sekali lagi aku bergumam, olahraga saja tidak suka, gimana bisa jadi atlit?.
***
Aku sudah berlatih semampuku. Aku melakukannya demi nama baik sekolahku. Bukan karena paksaan atau apapun itu.
Saat ini aku telah berdiri pada sebuah lintasan, dan di depanku ada bak pasir yang menanti hentakan kakiku. Ntah sejauh apa lompatanku nanti.
Pelan-pelan kulangkahkan kakiku kebelakang—berjalan mundur, menjauh dari bak pasir itu. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Bahkan lebih cepat saat kali pertamanya aku tertangkap mata oleh Agung—mengawasi Agung dalam diam.
Menit berikutnya aku melihat sekelilingku—mencari Agung. Ya, penyemangatku. Mana dia? Kenapa dia tak ada di arena pertandingan?. Aku terdiam, semangatku mulai hilang. Sepertinya aku ingin menyerah. Aku menghela nafas. Berusaha menenangkan diriku. Walau bagaimanapun kembali pada tujuan utamaku. Bertarung demi nama baik sekolah. Bukan karena Agung.
“sejauh apapun lompatanmu nanti, sejauh itulah kebahagiaan yang kau beri untuk kami semua”.
Aku selalu ingat kata-kata Agung. Ia memang tak pernah bosan menyemangatiku meski terkadang aku memang suka mencelanya.
Kini, aku telah siap untuk melompat. Aku mulai berlari sekencang-kencangnya meninggalkan lintasan itu. Lalu, melompat. Menghentakkan kaki di bak pasir. Juri mengukur, lalu mencatat jauh lompatanku.
Sepertinya aku terlalu cepat mendarat, hingga lompatanku rasanya tak maksimal. Bersyukur saat itu peserta hanya delapan orang. Jadi, ada enam kali kesempatan untukku melompat.
Dan ini kesempatan terakhir untukku. Ini juga akan menentukan apakah aku pantas untuk menjadi pemenang atau tidak. Setelah beberapa kali melompat rasanya percaya diriku tumbuh lebih besar. Sebelum berlari meninggalkan lintasan itu, aku melihat ke depan. Tepat di ujung bak pasir itu ada sekelebat bayangan. Ya, bayangan Agung. Aku hafal betul bentuk tubuhnya.
Menit berikutnya dengan semangat aku berlari meninggalkan lintasan sejauh empat puluh meter itu, lalu bertumpu pada papan tolakan. Mengangkat tubuh ini. Menggunakan teknik melayang di udara. Lalu aku menundukkan kepala, mengayun lengan, dan membawa pinggang ke depan dan mendarat dengan tenang.
***
“Zika Adinata”.
Seseorang menyebut namaku, lalu di ikuti tepukan tangan para penonton dan peserta lainnya. Aku berjalan menuju panggung. Rasanya sedikit ragu—aku pemenangnya. Apakah benar itu namaku ataukah bukan. Seperti mimpi, tapi aku puas dengan usahaku. Sekarang aku mengerti, apa yang dilakukan atas usaha keras, maka akan mencapai hasil maksimal pula.
Di ujung sana terlihat sosok agung menaikkan dua jempolnya lalu tersenyum, dengan senang hati kubalas senyumannya.

“terimakasih penyemangatku” ucapku dalam hati.
 

The Words I Create Just Because of You Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang